Tomonobu Itagaki

Tomonobu Itagaki: Legenda Game Jepang yang Tidak Pernah Mau Kompromi

jadwalesports.com – Ketika nama Tomonobu Itagaki disebut di kalangan gamer, reaksi yang muncul hampir selalu sama: kagum, hormat, dan sedikit takut. Ia bukan hanya sosok di balik dua waralaba besar — Dead or Alive dan Ninja Gaiden — tapi juga simbol perlawanan terhadap arus utama industri game yang sering memuja keamanan dan formula.

Pada 16 Oktober 2025, dunia game kehilangan salah satu karakternya yang paling unik.
Tomonobu Itagaki meninggal dunia pada usia 58 tahun di Tokyo. Kabar ini dikonfirmasi oleh keluarganya melalui pernyataan resmi, disertai pesan terakhir yang ditulisnya sendiri:

“Saya hidup untuk berjuang, dan saya mati dalam pertarungan yang sama. Dunia game adalah dojo saya — tempat saya tumbuh, berdarah, dan berbangga.”

Kata-kata itu, khas Itagaki, menggambarkan sosok yang keras kepala namun tulus.
Ia meninggalkan warisan yang tidak bisa dihapus dari sejarah — warisan seorang kreator yang menolak tunduk pada kompromi.


Awal Kehidupan: Dari Anak Hukum ke Dunia Game

Tomonobu Itagaki lahir pada 1 April 1967 di Tokyo, Jepang.
Ia tumbuh dalam keluarga sederhana namun disiplin — ayahnya seorang pegawai negeri, ibunya guru seni.
Kedisiplinan itu membentuk kepribadian Itagaki kecil: fokus, kaku, tapi tekun.

Di masa SMA, ia mulai menyentuh dunia pemrograman lewat komputer keluarga.
Dalam wawancara lama, Itagaki menceritakan bahwa ia membuat game sederhana bertema Gundam bersama saudaranya:

“Saya menggambar sprite, saudara saya menulis kode assembly. Kami tak tahu ini akan jadi hidup kami.”

Setelah lulus SMA, ia kuliah di Waseda University, jurusan hukum. Tapi hidup akademis tak memuaskan hasrat kreatifnya. Setelah lulus pada 1992, ia bergabung ke perusahaan Tecmo sebagai programmer grafis junior.
Proyek pertamanya adalah Tecmo Super Bowl untuk Super Famicom — bukan proyek besar, tapi cukup untuk menunjukkan ketelitiannya terhadap detail animasi.


Era Tecmo: Lahirnya Dead or Alive dan Team Ninja

Di pertengahan 90-an, dunia game fighting sedang panas: Street Fighter dan Virtua Fighter mendominasi. Tecmo, perusahaan kecil saat itu, ingin menciptakan pesaing baru.
Itagaki mengajukan ide gila — game dengan sistem counter interaktif dan karakter perempuan kuat yang realistis.
Lahir lah Dead or Alive (1996).

Game itu bukan hanya sukses komersial, tapi juga menandai lahirnya Team Ninja, divisi kreatif yang kemudian menjadi rumah bagi para pengembang paling ambisius Tecmo.
Dead or Alive dikenal karena sistem “counter hold” revolusioner dan fisika realistis — dua hal yang menjadi DNA game Itagaki.

Itagaki mengarahkan sekuel demi sekuel:

  • Dead or Alive 2 (1999) memperkenalkan arena bertingkat dan efek grafis menakjubkan.

  • Dead or Alive 3 (2001) menjadi game launch Xbox, membawa Itagaki ke panggung global.

  • Dead or Alive 4 (2005) memperhalus formula — menjadikannya pionir fighting game di era online Xbox Live.

Namun seperti biasa, kesuksesan besar datang bersama kontroversi.
Spin-off seperti Dead or Alive Xtreme Beach Volleyball (2003) memancing debat soal objektifikasi karakter perempuan. Tapi bagi Itagaki, itu adalah bentuk eksplorasi visual, bukan eksploitasi.

“Saya mencintai karakter saya. Mereka bukan objek, mereka ekspresi keindahan dan kekuatan,” ujarnya dalam wawancara dengan Famitsu.


Ninja Gaiden: Filosofi Keras yang Jadi Legenda

Bagi Itagaki, Dead or Alive adalah awal — tapi Ninja Gaiden adalah jantung kariernya.
Ia me-reboot seri klasik NES itu untuk Xbox (2004) dengan visi brutal:
game aksi yang menuntut pemain berpikir cepat, presisi, dan tahan frustrasi.

Ninja Gaiden (2004) lahir sebagai salah satu game tersulit sepanjang masa.
Ia merancang setiap serangan musuh agar bisa membunuh pemain dalam hitungan detik jika salah langkah.
Namun ia percaya kesulitan bukan bentuk hukuman, melainkan alat pembelajaran.

“Game harus menantang. Kalau pemain kalah, bukan salah game. Itu berarti mereka punya ruang untuk tumbuh.”

Ninja Gaiden Black (2005) memperbaiki dan memperluas versi orisinalnya — dianggap sebagai definitive edition hingga kini.
Itagaki menolak menurunkan kesulitan meski banyak kritik, bahkan mengatakan:

“Kalau Anda ingin mudah, main Dead or Alive saja.”

Ia dikenal datang ke kantor lebih awal dari timnya, mengetes sendiri tiap tahap permainan, dan tidak segan membentak programmer yang menulis kode asal-asalan.
Namun justru karena keras itu, Team Ninja menghasilkan kualitas teknis yang diakui di seluruh dunia.


Konflik & Perpisahan dengan Tecmo

Pada puncak kejayaannya, badai besar datang.
Hubungan Itagaki dengan manajemen Tecmo memburuk. Ia menuding perusahaan gagal membayar bonus produksi untuk Dead or Alive 4 dan Ninja Gaiden 2.
Pada Juni 2008, ia menggugat Tecmo sebesar 148 juta yen dan sekaligus mengundurkan diri.

Dalam pernyataan publik yang tajam, ia menulis:

“Saya keluar bukan karena lelah, tapi karena saya tidak mau lagi bekerja dengan orang yang mengkhianati prinsip saya.”

Perpecahan itu mengguncang industri game Jepang.
Team Ninja bubar — sebagian bertahan di Tecmo, sebagian ikut Itagaki mendirikan studio baru bernama Valhalla Game Studios.


Valhalla Game Studios: Harapan dan Kejatuhan

Itagaki memulai Valhalla dengan ambisi besar: menciptakan game action yang bebas dari kompromi korporat.
Proyek pertamanya, Devil’s Third, diumumkan dengan hype tinggi. Game itu awalnya dikembangkan untuk PS3 dan Xbox 360, lalu beralih ke Wii U setelah pergantian publisher.

Sayangnya, hasil akhirnya tidak sebanding ekspektasi.
Meski ide gameplay-nya — campuran pertarungan tangan dan tembak-menembak — menarik, eksekusinya bermasalah: performa buruk, desain tidak konsisten.
Namun Itagaki tetap membela karyanya.

“Devil’s Third adalah karya saya yang paling jujur. Ia lahir dari perang panjang.”

Versi PC-nya sempat eksis sebentar sebelum ditutup, dan Valhalla Game Studios akhirnya bubar pada Desember 2021.

Tapi Itagaki tak berhenti. Pada 2023, ia mendirikan Itagaki Games, berfokus pada proyek eksperimental berbasis metaverse dan blockchain gaming.
Walau banyak fans skeptis, ia bersikeras bahwa “masa depan harus ditantang, bukan dihindari.”


Kontroversi & Sisi Gelap

Tomonobu Itagaki selalu jujur, tapi kejujuran itu sering membuatnya bermasalah.
Tahun 2006, ia dituduh melakukan pelecehan oleh mantan pegawai Tecmo. Kasus itu akhirnya dihentikan tanpa bukti kuat, tapi reputasinya sempat terguncang.

Ia juga terkenal blak-blakan terhadap kompetitor.
Pernah menyebut Tekken “stagnan”, dan mengkritik Heavenly Sword sebagai “film interaktif yang lupa jadi game.”
Namun bagi penggemarnya, komentar seperti itu bukan kesombongan, melainkan bukti bahwa Itagaki memperjuangkan filosofi desain murni: interaktivitas di atas segalanya.

Dia menolak cutscene-driven game yang hanya membuat pemain menonton.
Baginya, “permainan sejati” adalah dialog antara manusia dan sistem — aksi, bukan tontonan.


Filosofi Desain: Disiplin, Risiko, dan Keteguhan

Dalam berbagai wawancara, Itagaki sering mengulang satu kalimat:

“Game bukan untuk semua orang. Tapi bagi mereka yang mau berjuang, saya ingin memberi pengalaman yang tak terlupakan.”

Ia menganggap kesulitan bukan musuh, tapi kawan.
Setiap kekalahan di Ninja Gaiden adalah bentuk pembelajaran, bukan kegagalan.
Ia menginginkan pemain berproses — seperti murid dojo yang terus diasah.

Pendekatan ini banyak memengaruhi developer modern.
FromSoftware (pembuat Dark Souls dan Elden Ring) sering disebut sebagai penerus filosofi Itagaki dalam konteks rewarding difficulty.
Miyazaki sendiri pernah menyebut bahwa ia “menghormati disiplin Team Ninja era Itagaki.”

Itagaki juga dikenal sangat visual. Ia memperlakukan grafis bukan sekadar tampilan, tapi alat komunikasi.
Gerakan halus, ekspresi karakter, dan bahkan pantulan pedang — semua harus memiliki “rasa.”


Kematian & Reaksi Dunia

Kabar kematian Itagaki pada Oktober 2025 mengejutkan komunitas game global.
Ribuan pesan duka membanjiri forum dan media sosial.

Katsuhiro Harada, pencipta Tekken, menulis di X:

“Kami sering bersaing, tapi dia selalu jujur. Dunia game kehilangan seorang samurai sejati.”

Yosuke Hayashi, penerusnya di Team Ninja, juga menulis:

“Tanpa dia, saya tidak akan belajar arti tanggung jawab kreatif.”

Media seperti IGN Japan dan GameSpot Asia menulis obituari panjang, menyoroti warisan Itagaki sebagai “salah satu kreator Jepang terakhir yang menolak tunduk pada standar globalisasi.”


Warisan dan Pengaruh

Lebih dari sekadar game, warisan Tomonobu Itagaki adalah sikap.
Ia menunjukkan bahwa seorang kreator bisa keras kepala dan idealis tanpa kehilangan cinta terhadap medianya.

Dunia game modern — yang kini dikuasai model live-service dan formula aman — jarang melahirkan sosok seperti dia lagi.
Game-nya, meski tidak sempurna, punya jiwa: Dead or Alive yang sensual tapi tajam, Ninja Gaiden yang brutal tapi elegan, Devil’s Third yang kacau tapi jujur.

Semua menunjukkan hal yang sama — bahwa Itagaki menciptakan bukan untuk memuaskan investor, tapi untuk menantang pemain.


Refleksi Redaksi: “Orang yang Tidak Takut Salah”

Dalam wawancara terakhirnya dengan Famitsu tahun 2024, Itagaki sempat berkata:

“Saya tidak menyesal apa pun. Saya mungkin membuat banyak kesalahan, tapi semua kesalahan itu milik saya. Dan saya bangga memilikinya.”

Ucapan itu mencerminkan seluruh hidupnya.
Itagaki tidak pernah takut salah — ia hanya takut menjadi biasa.

Bagi generasi pengembang muda, Itagaki adalah pengingat bahwa kreativitas tidak lahir dari kompromi, tapi dari keyakinan teguh akan visi pribadi.
Dan mungkin itu sebabnya, bahkan setelah kepergiannya, namanya masih dibisikkan dengan nada kagum di studio-studio game kecil dari Tokyo hingga Montreal.


Sang Samurai Digital

Tomonobu Itagaki bukan sekadar pembuat game. Ia adalah samurai digital, seorang seniman keras kepala yang memperjuangkan kehormatan dalam dunia industri yang makin tersentralisasi.

Dari ruang kecil di Tecmo, ia melahirkan dunia-dunia yang menantang imajinasi — dunia di mana pemain harus berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.

Kini, saat dunia gaming terus berlari ke arah otomatisasi dan algoritma, warisan Itagaki mengingatkan kita:
bahwa permainan sejati lahir bukan dari kode, tapi dari jiwa manusia yang berani menolak mudah.

“Kemenangan sejati bukan ketika orang lain memuji kita,” tulis Itagaki dalam catatan terakhirnya,
“melainkan ketika kita tahu bahwa kita sudah memberi segalanya untuk dunia yang kita cintai.”